“Aneh”, pikirnya, “tidak biasanya aku dipanggil oleh raja.
Ada apa, ya? Aku ‘kan baru saja menyelesaikan rumah pesanan raja untuk salah
satu penasehatnya. Apa aku melakukan kesalahan…?”
Setelah dipikir-pikir, tukang bangunan itu merasa tidak punya
salah apa-apa. “Yah, apa boleh buat. Apapun yang disampaikan raja, aku harus
menguatkan hatiku.”
Lalu ahli bangunan itu pun pergi menghadap raja.
Sesampainya di depan tahta kerajaan, raja pun mengeluarkan titahnya:
“Wahai ahli bangunan, buatlah satu rumah lagi!”
“Berapa lama tuanku?”
“Kerjakan saja sesukamu.”
“Berapa biaya untuk membuatnya?”
“Aku memiliki satu karung emas. Gunakan sesukamu.”
“Seperti apa bentuk rumahnya?”
“Atur saja sesukamu.”
“Dimana aku harus membangunnya?”
“Tentukan saja sesukamu.”
“Wah, jarang-jarang raja member tugas semudah ini. Aku
boleh membuatnya sesukaku. Karena aku baru saja menyelesaikan satu rumah, aku
kerjakan rumah ini kalau ingin saja. Toh, membuatnya terserah aku.”
Setelah menerima titah raja yang menurutnya sangat ringan
tersebut, sang ahli bangunan pun mengerjakan rumah itu sekenanya. Kalau sedang
malas, dia tidak mengerjakannya. Bahkan ketika dia punya niat untuk
mengerjakannya, bahan bangunan yang dia beli pun bukan kualitas terbaik.
Bentuknya pun terkesan asal dan tidak mempertimbangkan unsur keindahan. Beanr-benar
rumah yang sekedar untuk tempat berteduh. Bukan rumah yang nyaman ditinggali
dan membuat betah penghuninya.
Setelah enam bulan sejak keluarnya titah raja untuk membuat
rumah, utusan raja dating untuk memberitahu ahli bangunan bahwa tiga hari lagi
sang raja ingin tahu tentang hasil kerjanya. Mendengar hal ini, ahli bangunan
kagetnya bukan main. Karena merasa tidak enak pada raja, diapun menyelesaikan
rumah itu. Takut kehilangan muka kalau belum selesai. Malu, gitu!
Akhirnya hari itu pun datang. Rumah diselesaikan dengan
hasil yang benar-benar tidak karuan. Tapi, bagi sang ahli bangunan, yang
penting dia sudah mengerjakan titah raja: membuat satu rumah.
Karena belum melihat rumah itu, sang raja pun memanggil si
ahli bangunan untuk tahu perkembangan kerjanya.
“Ada apa tuanku?”
“Kamu sudah selesai mengerjakan rumah itu?”
“Sudah tuanku.”
“Bagus. Rumah itu kuhadiahkan untukmu.”
Mendengar hal ini, hancur sudah hati si ahli bangunan.
Hanya satu hal yang bisa dia gumamkan dengan penuh penyesalan, “Kalau saja aku
tahu ......”
Bookmize.bbsc.fatan&denniz