My Cerpen

Rabu, 24 Oktober 2012

Butir Mutiara Dinda

Bandung kembali mendung. Ya, tidak terasa sudah hampir 1 tahun aku tinggal di kota kembang ini untuk menuntut ilmu. Aku mengambil jurusan S1 Teknik Informatika di salah satu Universitas Negeri di Bandung. Jauh dari orang tua adalah suatu hal yang tidak aneh bagiku. Dari aku masih duduk di sekolah dasar sampai menengah ke atas. Aku dikirim oleh orangtuaku ke Jogja, di rumah paman dan bibiku. Alasannya adalah karena aku adalah anak sulung, jadi mereka ingin aku terbiasa untuk hidup mandiri, walaupun pada saat itu aku masih belum mengerti apa-apa. Aku memiliki 2 orang adik yang masih duduk di bangku sekolah menengah, mereka sangat disayang Ayah dan Bunda. Jauh terbersit dalam hatiku bahwa kadang aku merasa cemburu dengan mereka, kasih sayang Ayah Bunda yang berlebihan terhadap mereka pernah membuatku buta akan kasih sayang yang sesungguhnya. Ah, seharusnya aku tidak berpikir seperti itu.
Di sini aku ga sendirian. Ada dia. Namanya Ridho, dia sahabatku. Kami bertemu pertama kali pada saat OSPEK dan kebetulan dia satu jurusan denganku. Dari situ persahabatan kami dimulai, dia begitu baik padaku. Kadang aku berpikir kebaikannya menurutku berlebihan. Entahlah, aneh, kadang aku berpikir juga kenapa aku belum bisa secomfort bersahabat dengan teman cewek seperti nyamannya aku bersahabat dengan Ridho, mungkin karena dulu waktu di bangku sekolah menengah atas, aku mempunyai pengalaman yang buruk dengan sahabat sejawat. Tapi aku tidak menutup diri untuk bersahabat dengan teman akhwatku. Tiba-tiba suara yang sudah akrab didengar, membuyarkan lamunanku. Dia adalah Ridho sahabatku.
“Hoi.. !! Ngalamun wae, mikirin apa sih meuni serius pisan?”. Ujarnya dengan wajah innocent.
“Apaan sih kamu? Kebiasaan ngagetin orang, kaget tau! Aku lagi ga mau diganggu!!” Ketusku, karena memang aku sedang ingin sendiri, entahlah penyakit badmood ku nampaknya kambuh lagi, dan korban pertama nya pasti sahabatku itu.
“Beuh.. gitu aja marah. Sorry sorry. Lagian siang-siang bolong gini ngalamun. Sampe suara adzanpun gak kedengeran. Ck ck ck.” Cerocosnya masih dengan innocent face,
Whatt?? Adzan? Oushh..segera aku lirik jam tanganku, astaga sudah hampir pukul satu. Aku gak biasa sholat tidak tepat waktu, gini gini juga untuk masalah ini aku di depan, hehe bangga nya,
“Kamu kenapa ga bilang dari tadi? Heuu.. minggir!!” Aku ngeloyor begitu saja tanpa mempedulikan keberadaannya lagi, memang inilah sikapku kalo lagi badmood nya datang, masih sulit untuk dihilangkan, minimal ngerubahnya aja masih hese.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera ambil langkah seribu. Bergegas menuju rumah Allah, rumah yang selalu menghadirkan ketenangan bagi jiwa dan hatiku, rumah yang senantiasa menenteramkan pikiranku. Tempat aku mengadu pada-NYA, Dzat yang selalu setia menemaniku dan selalu bersedia menjadi tempat curhatku. Kadang bila aku sedang mengalami masalah yang begitu pelik (di mata ku dan tentu ringan di mata-NYA), aku langsung kabur dan lari menuju rumah-NYA yang suci. Masjid. Pernah aku tertidur di Masjid karena terlalu asyik mencurahkan segala uneg-uneg ku kepada Dia dan itu tidak sekali dua kali terjadi. Tak terasa butir mutiaraku jatuh.
                                                             ^^
Pagi yang cerah. Tak seperti biasanya. Hari ini ada kelas Visual Basic.Net, sesampainya di kampus segera aku menuju ruang Lab.Komp. Hening. Hanya ada segelintir mahasiswa yang sudah duduk di depan layar monitor komputer masing-masing. Sudah kebiasaan memang, tidak sedikit mahasiswa yang mungkin sengaja telat dengan mencari-cari alasan yang gak jelas, bahkan tidak masuk akal. Aku duduk di samping dia, sahabatku Ridho. Nampaknya dia masih marah dengan sikapku kemarin. Segera aku menyapa nya,
“Assalamualaikum.. Tumben diem?” Sapaku, seperti tidak terjadi apa-apa. Kalo aku ungkit kejadian kemarin, takut tambah kusut tuh muka, jadi aku pilih untuk bersikap biasa aja.
“Waalaikumusalam..” Jawabnya. Singkat.
Sepertinya dia benar-benar marah padaku. Kuputar otakku. Heum, apa ya yang buat dia tidak menekuk wajahnya itu.  Aha, aku tau!
“Eh, Dho. Tau ga, tadi aku ketemu sama teh Via, lho. Katanya salam buat Ridho, dia nitip salam buat kamu tuh, ehem kayanya dia suka deh sama kamu, Dho.” Hiburku layaknya seorang superwoman yang sedang menyelamatkan clientnya dari penjara kekesalan.
“Penting ya buat aku? Bilangin, waalaikumusalam.” Ucapnya, masih cuek. Aku paling tidak suka suasana seperti ini, memang aku akui ini semua gara-gara aku juga. Tapi gak kaya gini juga kali. Menyebalkan. Sabar, Din. Sabar. Gumamku dalam hati.
“Kamu marah sama aku?” Tanyaku langsung ke inti obrolan. Nampaknya pertanyaan itu yang dia inginkan.
“Emang keliatannya gimana?” Tanya balik. Aku paling benci itu.
“Aku ga tau!” Aku mulai sebal dengan sikapnya. Dia menatapku. Tajam.
“Kenapa kamu liat aku kaya gitu?” Tanyaku sambil menghindar dari tatapannya, namun entah kenapa sulit rasanya untuk aku menghindari itu. Dia mendekat dan duduk di sampingku. Dekat. Aku berusaha menggeser kursiku.
“Kamu tau kan , Din. Aku paling tidak suka melihat kamu menangis!!!” Bentaknya. Sungguh, aku tidak menyangka dia semarah ini padaku.
“Menangis? Kapan aku menangis?!!” Elakku.
“Udah lah, Din. Berhenti berbohong. Kamu sebenarnya anggap aku apa? Aku ini sahabat kamu, Din. Melihat kamu menangis, rasanya aku juga ingin menangis. Kamu gak tau rasanya saat aku melihat kamu melamun di atas balkon dan sesekali kamu teteskan butir mutiara itu, butir mutiara yang aku tidak menginginkannya keluar. Di Masjid pun kamu lakukan hal serupa. Setiap aku tanya kenapa, selalu saja kamu menghindar. Itu membuatku tersiksa, apa pernah kamu pikirkan itu?!!”
Tangisku pecah mendengar pengakuan dia yang di luar dugaan. Tulus. Aku merasakannya, seorang sahabat yang begitu perduli denganku bahkan lebih dari perduli. Aku hanya bisa mengatakan,
“Maaf.”
Tak terasa suasana lab.kom sudah sepi. Karena memang sebelumnya dosen absent memberikan kuliah hari ini disebabkan ada urusan. Tersisa kami berdua. Hening sekali. Yang ada hanyalah isakan tangis yang menghadirkan kehidupan dalam ruangan itu. Begitu tenang. Seketika dia berbisik,
“Dinda, sesungguhnya aku menyayangimu karena Allah.”
Dia berdiri dan melangkah pergi setelah membisikkan hal itu. Meninggalkanku dalam keheningan yang nyata. Tangisku kembali pecah.
“Yaa Allah, tunjukilah hamba-Mu ini hidayah-Mu. Tuntunlah hamba-Mu ini untuk senantiasa di jalan-Mu. Dan bantu lah hamba-Mu ini untuk mampu menjaga hati, karena hamba tau hati ini hanya untuk-Mu, yaa Rabb..” Gumamku, membisu.
The End