Butir Mutiara Dinda
Bandung
kembali mendung. Ya, tidak terasa sudah hampir 1 tahun aku tinggal di kota
kembang ini untuk menuntut ilmu. Aku mengambil jurusan S1 Teknik Informatika di
salah satu Universitas Negeri di Bandung. Jauh dari orang tua adalah suatu hal
yang tidak aneh bagiku. Dari aku masih duduk di sekolah dasar sampai menengah
ke atas. Aku dikirim oleh orangtuaku ke Jogja, di rumah paman dan bibiku.
Alasannya adalah karena aku adalah anak sulung, jadi mereka ingin aku terbiasa
untuk hidup mandiri, walaupun pada saat itu aku masih belum mengerti apa-apa.
Aku memiliki 2 orang adik yang masih duduk di bangku sekolah menengah, mereka
sangat disayang Ayah dan Bunda. Jauh terbersit dalam hatiku bahwa kadang aku
merasa cemburu dengan mereka, kasih sayang Ayah Bunda yang berlebihan terhadap
mereka pernah membuatku buta akan kasih sayang yang sesungguhnya. Ah,
seharusnya aku tidak berpikir seperti itu.
Di sini aku ga sendirian. Ada dia. Namanya
Ridho, dia sahabatku. Kami bertemu pertama kali pada saat OSPEK dan kebetulan
dia satu jurusan denganku. Dari situ persahabatan kami dimulai, dia begitu baik
padaku. Kadang aku berpikir kebaikannya menurutku berlebihan. Entahlah, aneh,
kadang aku berpikir juga kenapa aku belum bisa secomfort bersahabat dengan teman
cewek seperti nyamannya aku bersahabat dengan Ridho, mungkin karena dulu waktu
di bangku sekolah menengah atas, aku mempunyai pengalaman yang buruk dengan
sahabat sejawat. Tapi aku tidak menutup diri untuk bersahabat dengan teman
akhwatku. Tiba-tiba suara yang sudah akrab didengar, membuyarkan lamunanku. Dia
adalah Ridho sahabatku.
“Hoi.. !! Ngalamun wae, mikirin apa sih meuni
serius pisan?”. Ujarnya dengan wajah innocent.
“Apaan sih kamu? Kebiasaan ngagetin orang,
kaget tau! Aku lagi ga mau diganggu!!” Ketusku, karena memang aku sedang ingin
sendiri, entahlah penyakit badmood ku nampaknya kambuh lagi, dan korban pertama
nya pasti sahabatku itu.
“Beuh.. gitu aja marah. Sorry sorry. Lagian
siang-siang bolong gini ngalamun. Sampe suara adzanpun gak kedengeran. Ck ck
ck.” Cerocosnya masih dengan innocent face,
Whatt?? Adzan? Oushh..segera
aku lirik jam tanganku, astaga sudah hampir pukul satu. Aku gak biasa sholat
tidak tepat waktu, gini gini juga untuk masalah ini aku di depan, hehe bangga
nya,
“Kamu kenapa ga bilang dari tadi? Heuu..
minggir!!” Aku ngeloyor begitu saja tanpa mempedulikan keberadaannya lagi,
memang inilah sikapku kalo lagi badmood nya datang, masih sulit untuk
dihilangkan, minimal ngerubahnya aja masih hese.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera ambil
langkah seribu. Bergegas menuju rumah Allah, rumah yang selalu menghadirkan
ketenangan bagi jiwa dan hatiku, rumah yang senantiasa menenteramkan pikiranku.
Tempat aku mengadu pada-NYA, Dzat yang selalu setia menemaniku dan selalu bersedia
menjadi tempat curhatku. Kadang bila aku sedang mengalami masalah yang begitu
pelik (di mata ku dan tentu ringan di mata-NYA), aku langsung kabur dan lari
menuju rumah-NYA yang suci. Masjid. Pernah aku tertidur di Masjid karena
terlalu asyik mencurahkan segala uneg-uneg ku kepada Dia dan itu tidak sekali
dua kali terjadi. Tak terasa butir mutiaraku jatuh.
^^
Pagi yang cerah. Tak seperti biasanya. Hari
ini ada kelas Visual Basic.Net, sesampainya di kampus segera aku menuju ruang
Lab.Komp. Hening. Hanya ada segelintir mahasiswa yang sudah duduk di depan
layar monitor komputer masing-masing. Sudah kebiasaan memang, tidak sedikit
mahasiswa yang mungkin sengaja telat dengan mencari-cari alasan yang gak jelas,
bahkan tidak masuk akal. Aku duduk di samping dia, sahabatku Ridho. Nampaknya
dia masih marah dengan sikapku kemarin. Segera aku menyapa nya,
“Assalamualaikum.. Tumben diem?” Sapaku,
seperti tidak terjadi apa-apa. Kalo aku ungkit kejadian kemarin, takut tambah
kusut tuh muka, jadi aku pilih untuk bersikap biasa aja.
“Waalaikumusalam..” Jawabnya. Singkat.
Sepertinya dia benar-benar marah padaku.
Kuputar otakku. Heum, apa ya yang buat dia tidak menekuk wajahnya itu. Aha, aku tau!
“Eh, Dho. Tau ga, tadi aku ketemu sama teh
Via, lho. Katanya salam buat Ridho, dia nitip salam buat kamu tuh, ehem kayanya
dia suka deh sama kamu, Dho.” Hiburku layaknya seorang superwoman yang sedang
menyelamatkan clientnya dari penjara kekesalan.
“Penting ya buat aku? Bilangin,
waalaikumusalam.” Ucapnya, masih cuek. Aku paling tidak suka suasana seperti
ini, memang aku akui ini semua gara-gara aku juga. Tapi gak kaya gini juga
kali. Menyebalkan. Sabar, Din. Sabar. Gumamku dalam hati.
“Kamu marah sama aku?” Tanyaku langsung ke
inti obrolan. Nampaknya pertanyaan itu yang dia inginkan.
“Emang keliatannya gimana?” Tanya balik. Aku
paling benci itu.
“Aku ga tau!” Aku mulai sebal dengan sikapnya.
Dia menatapku. Tajam.
“Kenapa kamu liat aku kaya gitu?” Tanyaku
sambil menghindar dari tatapannya, namun entah kenapa sulit rasanya untuk aku
menghindari itu. Dia mendekat dan duduk di sampingku. Dekat. Aku berusaha
menggeser kursiku.
“Kamu tau kan , Din. Aku paling tidak suka
melihat kamu menangis!!!” Bentaknya. Sungguh, aku tidak menyangka dia
semarah ini padaku.
“Menangis? Kapan aku menangis?!!” Elakku.
“Udah lah, Din. Berhenti berbohong. Kamu
sebenarnya anggap aku apa? Aku ini sahabat kamu, Din. Melihat kamu menangis,
rasanya aku juga ingin menangis. Kamu gak tau rasanya saat aku melihat kamu
melamun di atas balkon dan sesekali kamu teteskan butir mutiara itu, butir
mutiara yang aku tidak menginginkannya keluar. Di Masjid pun kamu lakukan hal
serupa. Setiap aku tanya kenapa, selalu saja kamu menghindar. Itu membuatku tersiksa,
apa pernah kamu pikirkan itu?!!”
Tangisku pecah mendengar pengakuan dia yang di
luar dugaan. Tulus. Aku merasakannya, seorang sahabat yang begitu perduli
denganku bahkan lebih dari perduli. Aku hanya bisa mengatakan,
“Maaf.”
Tak terasa suasana lab.kom sudah sepi. Karena
memang sebelumnya dosen absent memberikan kuliah hari ini disebabkan ada
urusan. Tersisa kami berdua. Hening sekali. Yang ada hanyalah isakan tangis
yang menghadirkan kehidupan dalam ruangan itu. Begitu tenang. Seketika dia
berbisik,
“Dinda, sesungguhnya aku menyayangimu karena
Allah.”
Dia berdiri dan melangkah pergi setelah
membisikkan hal itu. Meninggalkanku dalam keheningan yang nyata. Tangisku
kembali pecah.
“Yaa Allah, tunjukilah hamba-Mu ini
hidayah-Mu. Tuntunlah hamba-Mu ini untuk senantiasa di jalan-Mu. Dan bantu lah
hamba-Mu ini untuk mampu menjaga hati, karena hamba tau hati ini hanya
untuk-Mu, yaa Rabb..” Gumamku, membisu.
The End